OLDBOY

OLDBOY
LOGO

Jumat, 14 Juni 2013

PELAPORAN KEUANGAN DAN PERUBAHAN HARGA




DEFINISI PERUBAHAN HARGA 

Terdapat dua istilah dalam perubahan harga yang harus dipahami yaitu :
(1)  perubahan harga umum terjadi apabila secara rata-rata harga seluruh barang dan jasa dalam suatu perekonomian mengalami perubahan. Unit-unit moneter memperoleh keuntungan atau mengalami kerugian daya beli. Kenaikan harga secara keseluruhan disebut sebagai inflasi (inflation), sedangkan penurunan harga disebut sebagai deflasi (deflation).
(2)  Perubahan harga spesifik mengacu pada perubahan dalam harga barang atau jasa tertentu yang disebabkan oleh perubahan dalam permintaan dan penawaran. Jadi laju inflasi per tahun dalam suatu negara mungkin berkisar sekitar 5%, sementara harga satu unit apartemen dengan satu kamar tidur mungkin meningkat sebesar 50% selama periode yang sama.
Pelaporan Keuangan dan Perubahan Harga 
Perubahan Harga Umum dan Spesifik

Suatu perubahan harga umum terjadi apabila secara rata-rata harga seluruh barang dan jasa dalam suatu perekonomian mengalami perubahan. Kenaikan harga secara keseluruhan disebut sebagai inflasi (inflation), sedangkan penurunan harga disebut sebagai deflasi (deflation).
Perubahan harga spesifik mengacu pada perubahan dalam harga barang atau jasa tertentu yang disebabkan oleh perubahan dalam permintaan dan penawaran. Tingkat harga yang stabil menjadi prioritas nasional bagi banyak negara di dunia. Meskipun perubahan harga terjadi diseluruh dunia, pengaruh terhadap pelaporan bisnis dan keuangan berbeda-beda dari satu negara ke negara lain.

Laporan keuangan memiliki potensi untuk menyesatkan selama periode perubahan harga.
Selama periode inflasi, nilai aktiva yang dicatat sebesar biaya akuisisi awalnya jarang mencerminkan nilai terkininya (yang lebih tinggi). Ketidak akuratan pengukuran ini mendistorsi :
  1. proyeksi keuangan yang didasarkan pada data seri waktu historis
  2. anggaran yang menjadi dasar pengukuran kinerja
  3. data kinerja yang tidak dapat mengisolasi pengaruh inflasi yang tidak dapat dikendalikan
 Laba yang dinilai lebih pada gilirannya akan menyebabkan :
  1. Kenaikan dalam proporsi pajak
  2. Permintaan dividen lebih banyak dari pemegang saham
  3. Permintaan gaji dan upah yang lebih tinggi dari para pekerja
  4. Tindakan yang merugikan dari negara tuan rumah (seperti pengenaan pajak keuntungan yang sangat besar).
Dalam periode inflasi, pendapatan umumnya dinyatakan dalam mata uang dengan daya beli umum yang lebih rendah (yaitu daya beli periode kini), yang kemudian diterapkan terhadap beban terkait. Prosedur akuntansi yang konvesional juga mengabaikan keuntungan dan kerugian daya beli yang timbul dari kepemilikan kas (ekuivalennya) selama periode inflasi. Meskipun laju inflasi melambat, akuntansi perubahan harga tetap berguna karena efek kumulatif inflasi yang rendah dalam beberapa waktu dapat signifikan. Pengaruh distorsi inflasi masa lalu dapat juga bertahan selama bertahun-tahun, mengingat umur sebahagian besar  aktiva yg relatif panjang.
Kegagalan untuk menyesuaikan data keuangan perusahaan terhadap perubahan dalam daya beli unit moneter juga menimbulkan kesulitan bagi pembaca laporan keuangan untuk menginterpretasikan dan membandingkan kinerja operasi perusahaan yang dilaporkan. Dalam periode inflasi, pendapatan umumnya dinyatakan dalam mata uang dengan daya beli umum yang lebih rendah (yaitu daya beli periode kini), yang kemudian diterapkan terhadap  kerugian daya beli yang timbul dari kepemilikan kas (ekuivalennya) selama periode inflasi. Oleh karena itu, mengakui pengaruh inflasi secara eksplisit berguna dilakukan karena :
  1. Pengaruh perubahan harga sebagian bergantung pada transaksi dan keadaan yang dihadapi suatu perusahaan.
  2. Mengelola masalah yang ditimbulkan oleh perubahan harga bergantung pada pemahaman yang akurat atas masalah tersebut.
  3. Laporan dari para manajer mengenai permasalahan yang disebabkan oleh perubahan harga lebih mudah dipercaya apabila kalangan usaha menerbitkan informasi keuangan yang membahas masalah-masalah tersebut.
Istilah-istilah akuntansi inflasi dan memahami pengaruh penyesuaian harga terhadap laporan keuangan.
  1. Atribut. Karakteristik kuantitatif suatu pos  yang diukur untuk keperluan akutansi. Contoh: biaya histories atau biaya penggantian merupaka atribut suatu aktiva
  2. Penyesuaian biaya kini. Nilai penyesuaian aktiva untuk perubahan  dalam harga tertentu
  3. Kekayaan yang dapat dihapuskan. Jumlah aktiva bersih suatu perusahaan yang dapat ditarik tanpa mengurangi besar awalnya aktiva bersih
  4. Mekanisme Penyesuaian. Manfaat berupa keuntungan daya beli pemegang saham yang berasal dari pendanaan utang dan pertanda bahwa perusahaan tidak perlu mengakui tambahan biaya pengganti atas aktiva operasi sehubungan dengan aktiva tersebut didanai melalui utang.
  5. Ekuivalen Daya Beli Umum. Jumlah mata uang yang telah disesuaikan terhadap perubahan dalam tingkat harga umum.
  6. Keuntungan kepemilikan suatu investasi. Kenaikan nilai biaya kini  suatu aktiva nonmoneter.
  7. Hiperinflasi. Laju inflasi yang sangat besar terjadi pada saat tingkat harga umum dalam suatu perekonomian meningkat sebesar lebih dari 25%  pertahun.
  8. Inflasi. Kenaikan dalam tingkat harga umum seluruh barang dan jasa dalam suatu perekonomian.
  9. Aktiva moneter. Klaim terhadap jumlah mata uang yang tetap dimasa depan seperti kas atau piutang usaha.
  10. Keuntungan Moneter. Kenaikan dalam daya beli secara umum yang terjadi karena terdapatnya kewajiban moneter selama periode inflasi.
  11. Kewajiban moneter. Suatu kewajiban untuk membayar jumlah mata uang yang tetap dimasa depan seperti utang usaha atau uang dengan suku bunga yang tetap.
  12. Kerugian Moneter. Penurunan dalam daya beli secara umum yang terjadi karena terdapatnya kativa moneter selama periode inflasi.
  13. Penyesuian Modal Kerja Moneter. Pengaruh perubahan harga khusus  terhadap seluruh jumlah modal kerja yang digunakan oleh sutu usaha dalam menjalankan operasinya.
  14. Jumlah Nominal. Jumlah  mata uang yang belum disesuaikan dengan perubahan harga.
  15.  Aktiva Nonmoneter. Aktiva yang tidak menunjukkan adanya klaim tetap terhadap kas seperti persediaan, aktiva tetap, dan peralatan.
  16. Kewajiban Nonmoneter. Suatu utang yang tidak mengharuskan pembayaran jumlah kas yang tetap dimasa depan, seperti uang muka pelanggan.
  17. Penyesuian Paritas. Suatu penyesuian yang mencerminkan perbedaan antara inflasi di Negara induk perusahaan dan Negara tuan rumah.
  18. Aktiva permanent. Istilah di Brasil untuk aktiva tetap, gedung, investsai, beban tangguhan, dan depresiasi terkait   serta jumlah deplesi atau amortisasi.
  19. Indeks Harga. Suatu rasio biaya di mana pembilang/numeratornya adalah biaya dari suatu keranjang barang dan jasa yang representatif dalam tahun berjalan, sedangkan penyebutnya adalah biaya dari keranjang barang dan jasa yang sama pada tahun dasar.
  20. Daya Beli. Kemampuan umum dari suatu unit moneter untuk memeperoleh barang dan jasa.
  21. Laba Riil. Laba bersih yang telah disesuaikan untuk perubahan harga.
  22. Biaya penggantian. Biaya kini untuk mengganti potensi jasa suatu aktiva dalam keadaan normal usaha.
  23. Mata uang pelaporan. Mata uang yang digunakan suatu perusahaan dalam menyusun laporan keuangan.
  24. Metode nyatakan kembali-translasikan. Digunakan pada saat suatu induk  perusahaan mengkonsolidasikan akun-akun anak perusahaan luar negeri yang berlokasi disebuah lingkungan berinflasi.
  25. Perubahan Harga Khusus. Perubahan dalam harga untuk komoditas khusus seperti persediaan atau peralatan.
  26. Metode translasikan-nyatakan kembali. Suatu metode konsolidasi pertama-tama dengan mentranlasikan akun-akun laporan keuangan anak perusahaan luar negeri kedalam mata uang induk perusahaan dan kemudian dinyatakan kembali jumlah yang ditanslasikan terhadap inflasi induk perusahaan.
Mengapa Laporan Keuangan Memiliki Potensi Untuk Menyesatkan Selama Periode Perubahan Harga?
Selama periode inflasi, nilai aktiva yang tercatat sebesar biaya akuisisi awalnya jarang mencerminkan nilai terkininya (yang lebih tinggi). Nilai aktiva yang dinyatakan lebih rendah menghasilkan beban yang dinilai lebih rendah dan laba yang dinilai lebih tinggi.
Dari sudut pandang manajemen, ketidakakuratan ini mendistorsi :
(1) proyeksi keuangan yang didsarkan pada data seri waktu historis
(2) anggaran yang menjadi dasar pengukuran kinerja
(3) data kinerja yang tidak dapat mengisolasi pengaruh inflasi yang tidak dapat dikendalikan.
Hal tersebut menyebabkan laba :
  • Kenaikan dalam proporsi pajak
  • Permintaan deviden lebih banyak dari pemegang saham
  • Permintaan gaji dan upah yang lebih tinggi dari para pekerja
  • Tindakan yang merugikan dari negara tuan rumah (seperti pengenaan pajak keuntungan yang sangat besar)
Dan jika perusahaan telah mendistribusikan labanya maka besar kemungkinan perusahaan tidak dapat melakukan penggantian aktiva tertentu yang mengalami kenaikan harga karena kekurangan sumber daya.
Penyajian laporan keuangan yang tidak disesuaikan dengan kemampuan daya beli ini juga akan mempengaruhi pembaca laporan dalam menginterprestasikan dan membandingkan kinerja oprerasi perusahaan. Jika pendapatan dicatat sesuai dengan nilai daya beli kini sedangkan biaya dicatat sebesar daya beli historis akan membuat pengukuran laba yang tidak akurat. Prosedur akuntansi yang konvensional juga mengabaikan keuntungan dan kerugian daya beli yang timbul dari kepemilikan kas (atau ekuivalennya) selama periode inflasi.
Pengakuan pengaruh inflasi secara eksplisit perlu dilakukan karena:
1.   Pengaruh perubahan harga sebagian bergantung pada transaksi dan keadaan yang dihadapi suatu perusahaan. Para pengguna tidak memiliki informasi yang lengkap mengenai faktor-faktor ini.
2.   Mengelola masalah yang ditimbulkan oleh perubahan harga bergantung pada pamahaman yang akurat atas masalah tersebut. Pemahaman yang akurat memerlukan kinerja usaha yang dilaporkan dalam kondisi-kondisi yang memperhitungkan pengaruh perubahan harga.
3.   Laporan dari para manager mengenai permasalahan yang disebabkan oleh perubahan harga labih mudah dipercaya apabila kalangan usaha menerbitkan informasi keuangan yang membahas masalah-masalah tersebut.
Jenis Penyesuaian Inflasi
Seri statistik yang mengukur perubahan baik dalam harga umum maupun harga spesifik pada umumnya tidak bergerak secara pararel. Setiap jenis perubahan harga memiliki pengaruh yang berbeda terhadap ukuran-ukuran posisi keuangan dan kinerja operasi suatu perusahaan dan ditimbulkan oleh adanya tujuan-tujuan berbeda yang tersembunyi.
Penyesuaian Tingkat Harga Umum
Jumlah mata uang yang disesuaikan terhadap perubahan tingkat harga umum (daya beli0 disebut sebagai mata uang konstan biaya histories atau ekuivalen daya beli umum. Jumlah mata uang yang belum disesuaikan sedemikian rupa disebut sebagai jumlah nominal. Sebagai contoh, selama periode kenaikan harga, aktiva berumur panjang yang dilaporkan didalam neraca sebesar biaya akuisisi awalnya dinyatakan dalam mata uang nominal. Apabila biaya historisnya tersebut dialokasikan terhadap laba periode kini, pendapatan, yang mencerminkan daya beli kini, ditandingkan dengan biaya yang mencerminkan daya beli (yang lebih tinggi) dari periode terdahulu saat aktiva tersebut dibeli.
Sumber :
pksm.mercubuana.ac.id/new/elearning/files…/32026-7-316349907215.doc
Referensi : 

Choi, Frederick D. S. dan Gary K. Meek. International Accounting. Buku 1 Edisi 6. 2010: Salemba Empat.

http://www.scribd.com/doc/53922737/Pelaporan-Keuangan-Perubahan-Harga

Selasa, 30 April 2013

Mekanisme Pengawasan Akuntansi dan Laporan Keuangan Paling Efektif

Akuntansi di Prancis sangat terkait dengan kode sehingga sangat mungkin untuk melewatkan kenyataan bahwa legislasi hukum komersial ( yaitu Code de Commerce )dan hukum pajak sebenarnya menentukan banyak praktik akuntansi dan pelaporan keuangan di Prancis.
Dasar utama aturan akuntansi adalah Hukum Akuntansi 1983 dan Dekrit Akuntansi 1983 yang memuat Plan Compatible Generak wajib digunakan oleh seluruh perusahaan. Setiap perusahaan harus memiliki manual akuntansi.
Ciri khusus akuntansi di Prancis adalah terdapatnya dikotomi antara laporan keuangan perusahaan secara tersendiri dengan laporan keuangan kelompok usaha yang dikonsolidasikan. Meskipun akun-akun perusahaan secara tersendiri harus memenuhi ketentuan pelaporan wajib, hukum memperbolehkan perusahaan Prancis untuk mengikuti Standar Pelaporan Keuangan Internasional atau bahkan prinsip akuntansi yang diterima umum di AS dalam menyusun laporan keuangan konsolidasi.
Lima organisasi utama yang terlibat dalam proses penetapan standar di Prancis adalah:
1. Counseil National de la Comptabilite atau CNC (Badan Akuntansi Nasional). CNC memiliki 58 anggotayang mewakili profesi akuntansi, pegawai negeri dan para majikan, asosiasi dagang dan kelompok sector swasta lainnya. CNC memberikan konsultasi atas masalah-masalah akuntansi yang memerlukan pengaturan, akan tetapi tidak memiliki kekuasaan berupa penetapan aturan atau penegakan aturan. Kebanyakan pekerjaan teknis CNC dilakukan oleh komite anggota CNC dan staf.
2. Comite de la Reglementation Comptable or CRC (Komite Regulasi Akuntansi). Karena didorong oleh kebutuhan akan media lembaga otoritas pengatur standar akuntansi yang lebih fleksibel dan lebih cepat, CRC didirikan pada tahun 1998. CRC mengubah aturan dan rekomendasi CNC menjadi aturan yang mengikat. Berada di bawah juridiksi Kementrian Ekonomi dan Keuangan, CRC memiliki 15 anggota termasuk perwakilan dari sejumlah kementrian, CNC, AMF, OEC dan CNCC, serta hakim dari dua pengadilan tertinggi di Prancis. Aturan-aturan CRC diterbitkan dalam Jurnal Resmi Republik Prancis setelah memperoleh persetujuan dari menteri. Dengan demikian, CRC meiliki kekuasaan pengaturan.
3. Autorite des Marches Financiers or AMF (Otoritas Pasar Keuangan). Perusahaan-perusahaan Prancis secara tradisional tidak terlalu bergantung pada pasar modal bila dibandingkan dnegan sumber pendanaan lainnya. Badan di Prancis yang mirip Komisi Pasar Modal AS, yaitu AMF, memiliki peranan yang penting namun terbatas. AMF mengawasi pasar penerbitan baru dan kegiatan operasi bursa efekregional dan nasional. AMF juga memiliki kekuasaan untuk menegluarkan aturan pelaporan dan pengungkapan tambahan bagi perusahaan emiten. Presiden Prancis mengangkat Ketua AMF dan komisi tersebut memberikan laporan tahunan kepada presiden. Aturan ini membuat AMF memiliki kebebasan dari departemen pemerintah lainnya.
4. Ordre des Experts-Comptables or OEC (Ikatan Akuntan Publik). Di Prancis profesi akuntansi dan auditing sejak dulu telah terpisah. Akuntan dan Auditor Prancis diwakili oleh dua lembaga yaitu OEC dan CNCC, meski terdapat sejumlah orang yang menjadi anggota dikeduanya. Sesungguhnya, 80% akuntan dengan kualifikasi di Prancis memiliki kedua klasifikasi tersebut. Dua lembaga professional memiliki hubungan dekat dan bekerja sama untuk kepentingan bersama. Kedua terlibat dalam pengembangan standar akuntansi melalui CNC dan CRC dan keduanya mewakili Prancis di IASB.
5. Compagnie Nationale des Commisaires aux Comptes or CNCC (Ikatan Auditor Kepatuhan Nasional). CNCC berada di bawah yurisdiksi Kementrian Kehakiman. Sesuai hukum, hanya auditor eksternal yang boleh melakukan audit dan memberikan pendapat atas laporan keuangan. CNCC menerbitkan sebuah buku pegangan anggota yang berisi standar professional yang ekstensif. CNCC juga menerbitkan bulletin informasi yang memberikan bantuan teknis. Audit di Prancis umumnya sama dengan audit yang dilakukan di Negara lain. Namun demikian, auditor di Prancis harus melaporkan kepada penuntut umum atas seluruh kegiatan criminal yang diketahui selama proses audit.
Perusahaan Prancis melaporkan neraca, laporan laba rugi, catatan atas laporan keuangan, laporan direktur, dan laporan auditor. Tidak terdapat ketentuan mengenai laporan perubahan posisi keuangan atau laporan arus kas walaupun CNCC merekomendasikan untuk membuatnya.
Untuk memberikan gambaran yang sebenarnya dan sewajarnya, laporan keuangan harus disusun sesuai dengan peraturan dan dengan niat baik. Dalam pengukuran akuntansi, aktiva tetap didepresiasikan menurut provisi pajak umumnya menurut garis lurus atau saldo berganda. Persediaan harus dinilai sebesar nilai yang lebih rendah antara biaya atau nilai realisasi dengan menggunakan metode FIFO atau metode rata-rata tertimbang. Biaya penelitian yang diamortisasi tidak lebih dari 5 tahun. Kebanyakan risiko dan ketidakpastian dapat dicadangkan, seperti yang terkait dengan litigasi, restrukturisasi, dan asuransi swadaya dan hal ini memungkinkan timbulnya kesempatan melakukan perataan laba.

Prosedur Translasi (Laporan Keuangan) Mata Uang Asing

Di era globalisasi sekarang ini, transaksi bisnis yang menggunakan mata uang asing bukan sesuatu yang aneh, apalagi bagi perusahaan yang memiliki anak perusahaan atau kantor cabang (operasional) di luar Indonesia. Akan tetapi, hingga saat ini, translasi laporan keuangananak perusahaan—yang menggunakan mata uang asing—masih merupakan tantangan tersendiri bagi sebagian akuntan dan orang accounting pada umumnya. Terlebih-lebih setelah diberlakukannya IFRS. Lewat tulisan ini JAK ingin membahas prosedur translasi (laporan Keuangan) mata uang asing sesuai ketentuan IFRS, satu-per-satu dan selangkah-demi-selangkah.

Translasi (atau konversi) mata uang asing dalam laporan keuangan, buat saya pribadi, bukan sesuatu yang sederhana, apalagi jika harus mengikuti standar pelaporan keuangan yang terus berubah dari waktu-ke-waktu. Prosedurnya itu sendiri sudah rumit, ditambah lagi dengan langkah-langkah prosedur yang lumayan panjang, sehingga urusan mentranslasikan laporan keuangan bermata uang asing, bukan bekerjaan yang mudah.
Tapi jangan khawatir, mudah-mudahan, tulisan JAK ini bisa membantu anda untuk memahami prosedur translasi laporan keuangan bermata-uang asing dengan lebih mudah.
Dalam IFRS, teknis dan prosedur translasi laporan keuangan dengan mata uang asing diatur dalam IAS 21. Dalam PSAK, saya yakin ini diberi kode PSAK 21. Jika anda punya cukup waktu dan bisa memahami panduan IFRS asli dan PSAK, silahkan baca. Jika tidak, silahkan ikuti tulisan ini hingga selesai.
Ada 2 metode yang disarankan oleh IFRS, dalam mentranslasikan laporan keuangan anak perusahaan (subsidiary entities) yang menggunakan mata uang asing, yaitu:
·         Translasi ke dalam mata uang pelaporan (presentation currency); dan
·         Translasi ke dalam mata uang fungsional (functional currency).
Ada kalanya suatu perusahaan tunggal (tidak memiliki perusahaan anak), tetapi bertransaksi dalam mata uang asing, sehingga perlu mengkonversikan nilai nominal transkasi-transaksi tersebut. Untuk itu, yang digunakan BUKAN salah satu dari kedua metode translasi di atas, melainkan prosedur “translasi atas transkasi mata uang asing” secara langsung. Saya juga akan bahas prosedur ini.
Tak kalah pentingnya untuk diketahui oleh mereka yang melakukan pekerjaan translasi laporan keuangan, yaitu “Disklosur khusus—untuk situasi tertentu—sehubungan dengan translasi mata uang asing”.
Saya akan bahas keempat topik tersebut, lewat seri tulisan ini (mudah-mudahan tidak kepanjangan) secara bertahap, satu-per-satu, setahap-demi-setahap. Tetapi sebelum itu, ada satu hal yang sangat penting untuk diketahui yaitu mengenai…
Apa itu Mata Uang Fungsional dan Apa Itu Mata Uang Asing?
Memahami konsep “mata uang fungsional” dan “mata uang asing” adalah kunci untuk memahami prosedur translasi laporan keuangan, secara keseluruhan. Tanpa pemahaman ini, mustahil bisa memahami prosedur translasi laporan keuangan dengan benar.
Kita mulai dengan pertanyaan: apa itu mata uang fungsional (functional currency)?
IFRS mendefinisikannya mata uang fungsional sebagai:
the currency of the primary economic environment in which an entity operates.”
Sehingga, jika saya terjemahkan secara bebas, maka:
“Mata uang fungsional adalah mata uang (yang dipergunakan) dalam lingkungan ekonomi utama dimana perusahaan beroperasi”.
Apakah definisi di atas bisa dipahami? Saya yakin tidak banyak orang yang bisa langsung paham. Begitulah bahasa standard, memang agak sulit untuk dipahami. Itu sebabnya saya agak enggan menggunakan bahasa standar (atau ilmiah). Dalam definisi versi IFRS di atas misalnya, saya yakin tidak semua orang paham dengan istilah “primary economic environment”—bahkan untuk bule sekalipun. Kalau harfiahnya, mungkin semua orang juga tahu, bagaimana dengan makna kontekstualnya?
Yang dimaksud dengan “mata uang lingkungan ekonomi utama” dalam konteks ini, biasanya (tapi tidak selalu), adalah: mata uang yang dihasilkan atau dibelanjakan, secara mayoritas, dalam operasional perusahan.
Lumrah dan logisnya (meskipun tidak selalu), perusahaan menghasilkan dan membelanjakan kas dalam mata uang lokal dimana perusahaan beroperasi. Misalnya: perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia, lumrahnya, menghasilkan dan membelanjakan kas dalam mata uang Rupiah (IDR), secara mayoritas—meskipun ada yang dalam mata uang asing tetapi porsinya tidak banyak.
Sehingga, mata uang fungsional biasanya (meskipun tidak selalu) adalah mata uang lokal dimana perusahaan beroperasi. Misalnya: JAK Corp. punya anak perusahaan bernama JAK Pte Ltd yang beroperasi di Singapore. Maka, lumrahnya, mata uang fungsionalnya JAK Pte Ltd adalah Singapore Dollar (SIN$).
Bagaimanapun juga, seperti telah saya sebutkan berulangulang, “mata uang lokal” TIDAK SELALU otomatis menjadi mata uang fungsional.
Mata uang fungsional, menurut IFRS, adalah mata uang yang:
·         secara mayoritas, mempengaruhi harga jual dan harga beli barang/jasa, ATAU digunakan sebagai pengukur nilai beli atau nilai jual oleh regulator dimana perusahaan beroperasi.
·         secara mayoritas mempengaruhi harga bahan baku, biaya tenaga kerja dan biaya-biaya lain, sehubungan dengan pembuatan produk/jasa yang diperdagangkan.
Sekalilagi, dari petunjuk di atas bisa dilihat bahwa, menurut IFRS:
Mata uang lokal” dimana anak perusahaan beroperasi TIDAK OTOMATISmenjadi mata uang fungsionalnya. Bisa saja mata uang fungsionalnya adalah mata uang asing, jika kriteria di atas terpenuhi. Ini penting. Harus diingat baik-baik.
Sebagai lawan dari mata uang fungsional (functional currency) adalah “mata uang asing” (foreign currency). Sehingga yang dimaksudkan dengan “mata uang asing”—dalam konteks pelaporan keuangan—adalah: mata uang selain mata uang fungsional. Dan yang dimaksudkan dengan “transaksi mata uang asing” adalah transkasi-transaksi yang diukur (atau istilah standarnya “didenominasi”) dalam satuan mata uang selain mata uang fingsional atau memerlukan pelunasan dalam mata uang selain mata uang fungsional—yang timbul ketika perusahaan:
·         Membeli dan menjual barang atau jasa dalam bentuk kredit yang harganya didenominasi (diukur) dalam satuan mata uang asing.
·         Meminjam atau meminjamkan dana atau utang-piutang yang didenominasi dalam mata uang asing.
·         Memperoleh/membeli atau menjual aset tetap dalam mata uang asing.
·         Melunasi kewajiban yang didenominasi (diukur) dalam satuan mata uang asing.
Misalnya: Jika meneruskan contoh sebelumnya, dimana mata uang fungsional JAK Pte Ltd adalah SIN$, maka mata uang apapun selain SIN$ adalah “mata uang asing” bagi JAK Pte Ltd. Dan, transkasi-transaksi dalam mata uang apapun selain SIN$ adalah “transaksi mata uang asing” bagi JAK Pte Ltd.
Mengenai konsep mata uang fungsional, mata uang asing, dan transaksi mata uang asing, saya rasa sudah cukup jelas (jika belum, silahkan dibaca kembali, pelan-pelan atau tanyakan via ruang komentar). Berikutnya kita bahas bahas prosedur translasi, satu-per-satu, langkah-demi-langkah. Kita mulai dengan translasi ke dalam mata uang pelaporan…
Prosedur Translasi Ke Dalam Mata Uang Pelaporan (Presentation Currency)
Prosedur ini dipergunakan jika mata uang fungsional perusahaan anak adalah mata uang lokal dimana perusahaan anak beroperasi.
Misalnya: dari contoh kasus sebelumnya. JAK Corp berkedudukan di Indonesia memiliki perusahaan anak JAK Pte Ltd yang beroperasi di Singapore. Mata uang lokal Singapore sudah pasti SIN$. Jika (setelah diteliti), ternyata mata uang fungsional JAK Pte Ltd kebetulan juga SIN$, maka prosedur yang dipergunakan adalah “prosedur translasi ke dalam mata uang pelaporan.
Apa itu mata uang pelaporan?” mungkin ada yang bertanya seperti itu.
Yang dimaksud dengan “mata uang pelaporan” (presentation currency) adalah mata uang yang dipergunakan oleh perusahaan induk dalam melaporkan seluruh aktivitas operasional usahanya, termasuk operasional anak-anak perusahaan yang ada di luar negeri.
Sehingga “Translasi ke dalam mata uang pelaporan” artinya, mengkonversikan laporan keuangan anak perusahaan—yang menggunakan mata uang lokal dimana beroperasi sebagai mata uang fungsional—ke dalam dalam mata uang pelaporan perusahaan induk.
Misalnya:
JAK Corp berkedudukan di Indonesia, listing di BEJ, mata uang pelaporan JAK Corp di BEJ adalah Indonesian Rupiah (IDR). Merujuk ke contoh kasus sebelumnya, maka akuntan JAK Corp perlu mentranlasikan laporan keuangan anak perusahaannya yang di Singapore (JAK Pte Ltd)—yang menggunakan SIN$ sebagai mata uang fungsional—ke dalam satuan IDR, sebelum diikutsertakan (atau dikonsolidasikan) ke dalam laporan keuangan JAK Corp di Indonesia.
(Notetranslasi tidak harus dilakukan oleh perusahaan induk, pada prakteknya bisa saja dilakukan oleh anak perusahaan sebelum mengirimkan laporan keuangannya ke perusahaan induk).
Penting untuk diketahui: ”mata uang lokal” dimana perusahaan induk berkedudukan TIDAK serta-merta menjadi mata uang pelaporan. Dalam kasus JAK Corp yang berdudukan di Indonesia tadi misalnya, jika disamping listing di BEJ JAk Corp juga listing di Nasdaq (Amerika Serikat), maka mata uang pelaporannya untuk di Nasdaq adalah USD. Atau bisa jadi mengunakan USD baik untuk di BEJ maupun di Nasdaq. Jika ini situasinya, maka laporan keuangan JAK Pte Ltd (yang menggunakan SIN$ sebagai mata uang fungsional) ditranslasikan ke dalam USD.
Nah, bagaimana prosedur translasi ke dalam mata uang pelaporan? Berikut adalah langkah-langkahnya:
Langkah-1. Identifikasi dan Tentukan Mata Uang Fungsional Anak Perusahaan (subsidiary) – Seperti sudah saya sampaikan di atas, anak perusahaan bisa saja bertransaksi dalam beragam mata uang. Untuk itu, sebelum translasi dilakukan, perlu mengidentifikasi mata uang fungsionalnya. (Lihat caranya dalam penjelasan sebelumnya mengenai konsep mata uang fungsinal)
Langkah-2. Konversikan Transaksi Anak Perusahaan Ke Dalam Mata Uang Fungsionalnya – Setelah di langkah-1 selesai dilakukan (dan mata uang fungsional telah diketahui), maka di langkah yang kedua ini anda mengkonversikan semua transkasi yang terjadi di perusahan anak (apapun mata uangnya) ke dalam mata uang fungsionalnya. Penting untuk diperhatikan, semua anak perusahaan sebaiknya menggunakan mata uang fungsional secara konsisten dari tahun-ke-tahun, sehingga ada basis perbandingan yang pasti ketika pelaporan muti-tahun diperlukan.
Langkah-3. Konversikan hasil Laporan Posisi Keuangan (Neraca) ke Mata Uang Pelaporan – Setelah semua laporan keuangan anak perusahaan dikonversikan ke mata uang fungsionalnya (langkah-2), di langkah ketiga ini anda mengkonversikan semua laporan keuangan (baik anak perusahaan maupun induknya). Bisa saja perusahaan induk juga bertransaksi dalam beragam mata uang, selain mata uang pelaporannya. Misalnya: untuk pelaporan listing di Nasdaq, JAK corp menggunakan USD sebagai mata uang pelporan, sementara sebagian besar transkasi di JAK corp dalam IDR. Dalam situasi ini maka laporan posisi keuangan (Neraca) JAK corp—sebagai perusahaan induk-pun perlu dikonversikan ke dalam mata uang pelaporan.
Yups. Hanya tiga langkah saja. Mudah bukan?
Oopps.. ada ketentuan khusus yang harus diperhatikan APABILA perusahaan (entah anak atau induk perusahaan) berada dalam lingkungan ekonomi yang mengalami inflasi di luar batas kewajaran (bahasa standardnya “Hyperinflasi”). IAS 21 menyebutkan beberapa indikasi utama yang menunjukan adanya hyperinflasi—dalam suatu negara, yaitu:
·         Perilaku populasi terhadap mata uang lokal;
·         Harga yang bertautan dengan indeks harga; dan
·         Akumulasi rate inflasi selama tiga tahun mendekati atau mencapai 100%.
(CatatanTolong jangan tanya saya megenai indikasi yang pertama dan kedua, karena jujur saja saya belum mencari tahu apa yang dimaksudkan dalam hal ini. Sejauh yang saya tahu, dalam prakteknya, yang dijadikan patokan utama adalah indikasi yang ketiga. Akan sangat bermanfaat bila ada yang berkenan sharing mengenai indikasi yang pertama dan kedua).
Prosedur translasi khusus seperti apa yang harus dipergunakan bila perusahaan berada dalam lingkungan ekonomi yang mengalami hyperinflasi?
Jika perusahaan berada dalam lingkungan ekonomi yang mengalami hyperinflasi, menurut IFRS (IAS 21), maka LANGKAH-3 diatas harus memperhatikan 4 ketentuan berikut ini:
·         Tranlasikan semua ASET dan LIABILITAS dengan menggunakan “nilai tukar penutupan” (closing rate)—termasuk komparasinya (jika ada). Sebagai informasi tambahan, yang dimaksud dengan closing rate dalam hal ini adalah “spot exchange rate” pada TANGGAL NERACA. Sementara yang dimaksud dengan “spot exchange rate” adalah nilai tukar yang bisa direalisasikan segera untuk pertukaran mata uang pada waktu tertentu (dalam hal ini adalah pada tanggal neraca).
·         Translasikan (konversikan) semua PENDAPATAN dan BIAYA/COST dari masing-masing Laporan Laba Rugi—termasuk komparasinya (jika ada)—dengan menggunakan nilai tukar (exchange rate) pada TANGGAL TRANSAKSI. Jika rate per transaksi tidak diketahui, sebagai alternative anda bisa menggunaka “rate rata-rata” selama kurun waktu periode pelaporan.
·         Akui selisih pertukaran—atas konversi yang dilakukan—di akun “Pendapatan Kemprehsif Lain” pada laporan “Laba/Rugi Komperhensive.” Pada Neraca konsolidasi perusahaan induk, selisih pertukaran diamasukan ke dalam kelompok “Ekuitas” sebagai “Cadangan Translasi Mata Uang Asing” hingga anak perusahaan ditutup (tidak beroperasi lagi). Lihat prosedur berikutnya…
·         Pada saat penutupan (penghentian operasional) anak perusahaan, akumulasi nilai selisih pertukaran yang selama ini berada di akun “Cadangan Translasi Mata Uang Asing” direklasifikasikan dari equity ke Laba atau Rugi (sebagai adjustment) bersamaan dengan pengakuan “Laba/Rugi Penutupan Anak Perusahaan.”
Sebelum lanjut ke metode translasi berikutnya, mungkin ada yang bertanya-tanya:
Persisnya, nilai tukar (rate) mana yang digunakan?” Silahkan baca catatan khusus di bawah ini…
Rate Pertukaran Yang Digunalan Dalam Perhitungan Konversi Mata Uang Asing
Berikut adalah patokan dasar yang bisa digunakan dalam menghitung konversi mata uang asing secara umum:
·         Jika ADA, maka rate pertukaran yang digunakan adalah closing rate pada tanggal transaksi (lihat penjelasan prosedur di atas).
·         Jika TIDAK ADA closing rate, maka bisa menggunakan rate yang paling dekat dengan tanggal transaksi (rate yang berlaku besok paginya)
·         Jika ‘tanggal-laporan-keuangan-yang-akan-konversikan (ditranslasikan)’ berbeda dengan ‘tanggal-laporan-keuangan-kemana-akan dikonversikan (ditranslasikan)’ maka tentukan tanggal yang paling sesuai untuk dipergunakan sebagai basis translasi secara keseluruhan—untuk kemudian digunakan sebagai rate untuk konversi.
·         Jika ada ada beberapa rate yang tersedia sebagai basis translasi, maka gunakan rate basis translasi yang bisa digunakan sebagai basis rate perhitungan dana yang akan dipergunakan saat pembagian dividen. Sebagai alternative, bisa juga menggunakan rate yang akan digunakan untuk melakukan pembayaran (pelunasan) kepada pihak ketiga.
Di luar prosedur (dan ketentuan rate konversi) di atas, ada prinsip penting yang harus diperhatikan dalam melakukan translasi yaitu:
Kaitan ekonomis antar-elemen dalam laporan keuangan anak perusahaan yang ditranslasikan TIDAK BOLEH berubah setelah ditranslasikan ke dalam mata uang presentasi. Misalnya: Jika CURRENT RATIO laporan keuangan perusahaan anak—yang menggunakan mata uang fungsional—sebelum ditranlasikan adalah 3:1 dengan GROSS MARGIN 30% dari PENJUALAN BERSIH, maka setelah ditranlasikan kedua rasio tersebut tidak boleh berubah. Tujuan utama translasi laporan keuangan (anak perusahaan) dengan mata uang asing ke mata uang pelaporan adalah: agar aktivitas semua bisnis (induk dan anak) bisa dievaluasi dengan menggunakan alat ekur ekonomis yang sama.